Soal e-Voting, Begini Kata Anggota DPR, KPU dan Bawaslu

435
Ilustrasi

Persiapan kapasitas sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemilu dari tingkat pusat sampai daerah, termasuk panitia ad hoc yang berada di garda terdepan proses pemungutan suara. Juga, dukungan infrastruktur informasi teknologi yang belum merata di seluruh Indonesia. Ditambah lagi kondisi geografis Indonesia yang berbeda-beda.

Serta, penggunaan teknologi informasi dengan peningkatan kapasitas SDM yang belum optimal, menjadi alasan Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi penggunaan e-voting belum bisa diterapkan pada pemilu, termasuk pilkada pada 2024.

Melansir Beritasatu.com, Raka mengatakan saat ini belum ada landasan hukum yang mengatur soal e-voting.

“E-voting pada Pemilu 2024, termasuk pilkada juga belum memungkinkan, karena masalah aspek regulasi,” kata Raka, Jumat (25/3/2022).

Raka mengatakan penggunaan e-voting harus diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 terkait pilkada. Pasalnya, tutur Raka, pemungutan suara merupakan inti terpenting dari pemilu, sehingga harus diatur secara jelas dalam UU Pemilu atau UU pilkada.

“Penyederhanaan pemilu harus diatur dalam UU, apalagi ini menyangkut inti pemilu, pemungutan suara yang kemudian berkaitan dengan penghitungan dan rekapitulasi suara,” tukasnya.

Sementara, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menegaskan pemungutan suara secara elektronik atau e-voting belum bisa diterapkan pada Pemilu 2024. Menurut Rifqi, sapaan akrabnya, Infrastruktur teknologi informasi belum terlalu mendukung penerapan e-voting tersebut.

Kata Rifqi, e-voting sebagai gagasan bisa terus dikaji dan dikembangkan agar pada saatnya nanti diterapkan dalam pemilu. Pasalnya, digitalisasi merupakan suatu keniscayaan, tetapi perlu dipersiapkan yang matang, baik dari segi infrastruktur teknologi, SDM dan regulasinya.

“E-voting tampaknya sulit diterapkan pada Pemilu 2024,” tukas Rifqi, dikutip dari Beritasatu.com, Jumat (25/3/2022).

Rifqi mengatakan pada Pilkada Serentak 2020, DPR memberikan kesempatan kepada KPU untuk menggunakan teknologi informasi dalam proses penghitungan dan rekapitulasi hasil suara atau dikenal sirekap.

“Sirekap dirancang untuk mempercepat penghitungan dan rekapitulasi suara saat itu, tetapi ternyata di beberapa tempat, lebih dulu rekapitulasi manual yang dilaporkan. Ini artinya kita masih belum siap,” ucapnya.

Sementara, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja menanggapi wacana yang digelindingkan Menkominfo Jhonny G Plate terkait e-voting pada pemungutan suara Pemilu 2024, berkomentar agar usulan itu disampaikan ke Komisi II DPR saat rapat dengar pendapat (RDP).

"Saya kira mohon yang berkaitan dengan hal-hal baru Pemilu disampaikan oleh kementerian yang bermitra dengan komisi II. Alangkah lebih tepat disampaikan melalui mekanisme RDP," kata Bagja kepada wartawan, dinukil dari Detik.com, Kamis (24/3/2022).

Bagja ingin usulan tersebut menjadi pembahasan tripatrit. Sehingga usulan bisa dibahas dengan baik.

"Sehingga menjadi pembahasan tripatrit antara Pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu. Sehingga pembahasan pun menjadi komprehensif dan terbahas dengan baik," tukasnya.

Bagja kemudian mempertanyakan terkait infrastrultur teknologi pendukung e-voting. Menurutnya mekanisme rekap data pemilu melalui digital masih menjadi tanda tanya.

"Mengenai permasalahan e-voting pertanyaannya mendasarnya adalah pertama apakah infrastruktur hukumnya ada? e-Rekap saja masih tanda tanya," tuturnya.

"Yang mendasar adalah apa yang dimaksud e-voting? Mau seperti apa? Kemudian yang kedua, secara sosiologis apakah masyarakat sudah terbiasa dan bisa menerima. Yang ketiga adalah infrastruktur IT dan supporting system nya," tutupnya.

 

(Sumber : Beritasatu.com/ Detik.com)

SHARE

KOMENTAR