Cici Cempaka : Salam 3 Jari itu Tak Hanya Simbol Persatuan, Tapi Juga Anti Penindasan

202
Cici Cempaka saat lakukan sosialisasi kegiatan bersama warga.

Aartreya – Tiga itu simbol spirit persatuan. Bukan perseteruan. Dan, salam 3 jari itu adalah simbol perlawanan kelompok penindas dan pemerkosa demokrasi. Demikian disampaikan aktivis 98 yang juga Wakil Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bogor, Cici Cempaka, SPd, MSi, lugas.

“Keinginan kami, juga keinginan rakyat, pemilu harus berlangsung damai dengan semangat persatuan. Keinginan kami, demokrasi dan konstitusi tak boleh ternoda. Juga, tak boleh ada kecurangan. Jika itu terjadi, maka kami akan bersikap, siap turun ke jalan,” kata Cici dengan nada tinggi kepada media online ini saat bincang santai di sela kegiatan blusukannya, dilingkungan Leuwiliang, Minggu (3/12/2023).

Politisi wanita yang maju sebagai Caleg DPRD Kabupaten Bogor dari PDI Perjuangan, nomor urut 3, dari Dapil V menambahkan, salam 3 jari yang menjadi nomor urut paslon Capres-Cawapres Ganjar – Mahfud tak bedanya menjadi simbol pemersatu melawan kebahitlan politik.   

“Jika di Thailand, salam tiga jari merupakan ikon saat masyarakat tertindas bersikap terhadap Presiden Snow serta The Capitol, yang menjadi penguasa otoriter atau yang popular disebut Hunger Games. Maka, 3 jari merupakan salam sapa rakyat, oleh Ganjar-Mahfud, juga kami sebagai kader PDI Perjuangan,  yang menunjukan komitmen selalu bersama masyarakat kecil,” ucap Cici.

“Dan, yang pasti, sejak dulu hingga kini, saya tak berubah. Tetap anti orba. Tetap menolak orba-isme,” imbuhnya.   

Pada kesempatan itu, ia juga bertutur awal mula dirinya merasa ‘jatuh hati’ kepada PDI Perjuangan. Ia menyebut momennya, bermula semasa ia masih duduk di bangku kuliah Universitas Pakuan, Bogor.

“Sejak awal kuliah, pada tahun 1993, saya berkenalan dengan dunia gerakan mahasiswa di kampus. Namanya, Front Pemuda Penegak Hak Rakyat (FPPHR). Era itu, bersama rekan-rekan, saya dikenalkan melakukan pendampingan petani. Tak hanya itu, saya juga kerap turun ke jalan, berunjuk rasa dengan isu sentral, anti Soeharto,” tuturnya.

Melewati perjalanan waktu, saat PDI dipecah belah oleh rezim berkuasa Soeharto, kembali Cici diajak rekan-rekannya mengikuti rangkaian demonstarasi.

“Era itu, tahun 1996, saya dan rekan saya, kerap mengikuti pertemuan mingguan di rumah Ibu Megawati, Lenteng Agung, Jakarta. Ketika itu, era kepemimpinan Ketua DPC PDI Pro Mega, alm M Sahid. Berlanjut, saat digelar mimbar bebas pra Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli)  di Diponegoro, Jakarta, juga turut hadir mengenakan ikat kepala merah GAS (Gerakan Anti Soeharto, juga Suryadi),” imbuhnya.

Pada saat itulah, ia merasa terpanggil harus ikut membela Megawati dan PDI sebelum akhirnya berganti nama menjadi PDI Perjuangan

“Karena, keluarga saya juga loyalis Bung Karno dan Ibu Mega, saya pun ikut melakukan serangkaian unjuk rasa di Bogor, juga Jakarta. Saat itu, kawan-kawan FPPHR juga tergabung dalam Forkot. Jelang 1999, saya dan rekan saya membentuk TSM (Tim Sukses Megawati). Dan, menggelar seminar perdana TSM di Puncak, didukung mertua Ibu Puan, alm Bambang Sukomonohadi saat itu,” kenangnya.

Kesehariannya, Cici mewakafkan waktunya untuk dunia pendidikan dan PDI Perjuangan. Ia berobsesi ingin memeberi yang terbaik untuk warga Kabupaten Bogor.

“Mimpi saya, ingin membantu warga tak mampu untuk menikmati pendidikan. Saat ini, di Kabupaten Bogor, sekolah negeri masih terbilang sedikit dan baru ada di tiap kecamatan. Artinya, pilihan keduanya sekolah swasta. Sementara, untuk gakin, biaya sekolah swasta masih memberatkan. Jika Allah memberi izin, jika ada kemujuran, saya ingin bercampur tangan andai ada keberuntungan kelak,” tuntas Cici.

(3. Eko Okta Ariyanto)

SHARE

KOMENTAR