Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais baru-baru ini menyampaikan kalau dirinya berniat untuk membuat gerakan people power. Ucapan Amien Rais itu disampaikan dalam Dialog Nasional bertemakan 'Rakyat Bertanya, Kapan People Power' yang diselenggarakan di Gedung Umat Islam Kartopuran, Solo.
Pada kesempatan itu, Amien mengucapkan kalau gerakan people power yang diinisiasinya itu bersifat sah dan tak melanggar konstitusi. Mantan Ketua MPR RI itu berkoar untuk menggelar people power di kota kelahiran Jokowi.
Kita agendakan bagaimana menghilangkah penyakit takut, tapi kita tidak boleh grusa grusu. Kita perlu konektifitas dengan TNI, kepada Polisi mungkin tidak sepenuhnya. Jadi tolong kepada para intel, laporkan ke Pak Jokowi Insya allah akan menggelar people power, people power yang tidak usah meneteskan darah, ndak usah bakar-bakar ban, ndak usah melempar gedung pemerintah. Demikian kata Amien Rais sebagaimana diwartakan banyak media.
Sebagaimana diketahui, sejarah people power bermula dari revolusi sosial damai yang terjadi di Filipina tahun 1986 menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos yang berkuasa 20 tahun lamanya. Peristiwa people power itu dimulai dari protes anti kekerasan untuk menggulingkan Marcos yang dilakukan oleh Corazon Aquino, istri dari pemimpin oposisi saat itu, yakni Benigno Aquino Jr.
Saat itu Aquino mulai melancarkan kampanye protes sebagai konsekuensi dari deklarasi kemenangan Marcos pada pemilihan Presiden Filipina tahun 1986. Peristiwa people power ini juga yang terjadi di Indonesia pada 1998 dengan lengsernya Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya. Terkait people power Filphina dan Indonesia ada kesamaan, Marcos dan Soeharto sama-sama lama berkuasa. Marcos menjadi presiden selama 20 tahun dan Soeharto, 32 tahun.
Nah, jika koar-koar Amien Rais menyerukan akan melengserkan Jokowi, tentu hal itu tak masuk akal rakyat yang berpikir waras. Kenapa? Karena, seorang Jokowi bukan seorang koruptor. Tak hanya itu, Jokowi berbeda dengan Soeharto atau Marcos yang menjabat presiden hingga beberapa periode.
Seruan people power Amien Rais tersebut jelas tak beda seperti ‘radio butut yang sudah usang dan rusak’ yang disuarakan oleh seorang politisi petualang, tak punya prestasi, diduga penderita frustasi politik dan penganut politik adu domba isme ala Sengkuni. Kenapa? Sebab, rakyat tahu, masa bakti Jokowi akan berakhir di periode kedua ini pada 2024 mendatang. Dan, Jokowi tak miliki hasrat politik kembali menjabat presiden.
Kembali pada Amien Rais. Di panggung politik, nama Amien Rais memang tak asing lagi. Bukan soal namanya yang harum, tapi karena manuver politiknya dan kerap mengadu domba. Sebutan Sengkuni yang dilekatkan pada Amien Rais, ditengarai justru bukan public. Namun, konon datang dari politisi Partai Amanat Nasional sendiri. Rizki Aljupri, Wakil Bendahara Umum DPP PAN pernah mengatakan keluarnya Amien dari PAN dan membentuk partai baru membuat PAN terbebas dari orang dengan karakter Sengkuni.
Kami justru bersyukur, karena saat ini PAN dapat lepas dari orang-orang yang memiliki karakter sengkuni. Kata Rizki Aljupri seperti yang dikutip Detik.com
Sebagaimana diketahui, Sengkuni adalah salah satu tokoh wayang dari kisah Mahabarata yang dikenal karena kelicikannya. Dia dikenal memiliki prestasi politik trampil memainkan tipu muslihatnya mengkudeta Yudistira atau Puntadewa dari singgasana Kerajaan Hastinapura.
Perjalanan langkah politik, tak berlebihan jika disebut hanya sebagai petulang politik. Dan, bila sebelumnya Amien Rais mengklaim dirinya sebagai Lokomotif Reformasi, tentu tak benar. Cuma klaim sepihak.
Sebab, sepekan jelang pelengseran Soeharto dengan menduduki Gedung DPR era Mei 1998, (saat itu penulis tergabung dalam KM Unpak, Forkot.red) seorang Amien Rais tak terlihat ikut berdemo di jalanan. Ia hanya sekedar penunggang atau penumpang gelap reformasi atau petualang politik.
Kiprah Amien Rais pada 1998, diawali setelah terjadinya tragedi Trisakti dan di tengah kerusuhan yang masih membara gelombang protes terhadap Pak Harto, pada 14 Mei 1998, ia dan Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Goenawan Mohamad, Toety Heraty, Daniel Sparingga dan Arifin Panigoro membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR). Dari catatan sejarah, MAR memang membuat pernyataan meminta Soeharto segera mengundurkan diri. Tapi, mundurnya Soeharto bukan karena Amien Rais, atau MAR. Namun, karena gelombang gerakan mahasiswa serentak di Jakarta, dan banyak daerah. Termasuk di Bogor.
Saat Amien Rais menjabat Ketua MPR, politik adu domba ala Sengkuni kerap dimainkan. Salah satunya dengan membuat poros tengah. Ia pun mengadu domba Megawati dengan Gus Dur pada masa itu. Sebagaimana diketahui, pada pemilu tahun 1999, PDI Perjuangan mendapatkan suara tertinggi dengan kemenangan telak 34 persen. Meski menang, namun Megawati Soekarnoputri tak jadi presiden karena dijegal poros tengah bentukan Amien Rais.
Seterusnya, pada 23 Juli 2001, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan dari jabatannya oleh MPR RI. Saat itu Presiden masih dipilih oleh MPR dan disebut sebagai pemegang mandat atau mandataris.
Pemakzulan dalam Sidang Istimewa MPR menyatakan Gus Dur telah menyalahi haluan negara. Posisi Gus Dur sebagai kepala negara kemudian diserahkan MPR kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Berlanjut pada 2014, Amien Rais yang saat itu menjabat Ketua Dewan Kehormatan PAN dan berpihak pada Prabowo ketika maju sebagai capres menyampaikan sumpah akan jalan kaki Yogyakarta- Jakarta jika Joko Widodo memenangi Pilpres pada 2014 silam. Namun, hingga saat ini janjinya tak kunjung dipenuhi meski Jokowi telah menjabat presiden.
Idealnya, di masa lansia ini, Amien Rais bisa lebih dewasa berpolitik seiring dengan usia. Sudahilah berpolitik Sengkuni. Menebar kebaikan, akan lebih baik daripada menebar kebencian atau fitnah. Menyampaikan pesan meneduhkan, masih jauh lebih lebih indah dibanding menanam seruan provokasi bermuatan hasutan ajakan people power yang tak berdasar.
(*Penulis, Aktivis 98 : Eko Octa)