The Art of War atau Seni Perang Sun Tzu telah dilakukan banyak adaptasi tak hanya untuk bisnis dan manajemen, tapi juga dunia politik. Ilmu bersiasat, berkedok pemenangan kelompok yang ujungnya untuk memenangkan syahwat diri sendiri, acap digunakan para politisi dengan kiat yang diadopsi dari Sun Tzu. Tujuannya, memenangkan persaingan yang tak terendus oleh lawannya.
Dari khazanah klasik, Seni Perang karya Sun Tzu (544-496 SM) dan Buku Lima Cincin karya Miyamoto Musashi (1584-1645) boleh dibilang terpopuler. Namun, Mao Zedong (1893-1976), yang bersama Tentara Merah telah melakukan long march selama setahun (1934-1935) dari Ruijin ke Xi'an, maupun berbagai pertempuran melawan tentara fasis Jepang dan nasionalis Kuomintang, diketahui ternyata sampai 1936 belum pernah membaca Sun Tzu-kecuali sejumlah kutipan dalam "Catatan-catatan dalam Kelas" (Jikun, 1993: 4).
Ini menunjukkan bahwa, bagi Mao, yang sebetulnya adalah pemimpin dan ideolog partai, persoalannya bukanlah perbedaan militer dengan sipil, melainkan bahwa dalam kedua ranah itu sama-sama diperlukan strategi. Meski disebut sebagai jenius strategi perang, sebetulnya yang bekerja adalah imajinasi tentang strategi berdasarkan bakat politik Mao.
Secara keilmuan, politik bisa diartikan sebagai suatu rangkaian asas, teknik atau bisa dikatakan seni dalam mencapai tujuan dan cita – cita kekuasaan. Berbicara mengenai politik, tentunya kita akan mengenal berbagai macam istilah politik yang mengacu pada strategi – strategi dan taktis dalam merebut kekuasaan. Ibarat perang, strategi sangatlah dibutuhkan agar pencapaian tujuan jadi lebih terarah dan terukur.
Dalam teori perang Sun Tzu, ada 3 hal yang harus kita kenali dan kuasai sebelum melakukan peperangan, yaitu kenali diri sendiri, kenali lawan dan kenali kondisi wilayah atau arena perang (wilayah). Setelah mengenali 3 hal tersebut, hal selanjutnya yang mesti dilakukan adalah bagaimana mengemas sebuah situasi agar kelemahan kita tertutupi dengan mendongkrak sisi baik (kekuatan) yang kita miliki, sebaliknya juga menguatkan sisi lemah lawan dengan menutupi sisi – sisi baiknya. Selanjutnya, mengemas situasi arena perang agar lebih menguntungkan kita secara politik.
Mengenai bagaimana cara dan taktis yang harus dilakukan guna menyusun strategi tersebut, Sun Tzu kemudian mengemasnya melalui buku 36 Strategi yang dikarangnya beberapa abad yang lalu, yang kemudian memaparkan secara lebih detail bagaimana cara dan taktik yang harus dilakukan guna mewujudkan kemenangan dalam peperangan.
Hal menarik yang diajarkan oleh Sun Tzu melalui buku 36 Strategi tersebut adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah Playing Victim, yaitu teknik memposisikan diri sebagai korban atau orang yang terluka demi mengelabui musuh dan lingkungan. Taktik tersebut ditulis tepatnya pada strategi nomor 34, yang berbunyi “Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh. Masuk pada jebakan dan jadilah umpan. Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, musuh akan bersantai sejenak oleh karena dia tidak melihat anda sebagai sebuah ancaman serius. Yang kedua adalah jalan untuk menjilat musuh anda dengan berpura-pura luka oleh sebab musuh merasa aman”. Dengan membuat musuh terkelabui, otomatis kita jadi lebih leluasa untuk menyerang musuh disaat kondisi mereka sedang lalai.
Dalam peperangan, menyerang musuh dalam keadaan santai akan terasa jauh lebih mudah, karena musuh berada dalam posisi belum mempersiapkan strategi apapun untuk melawan kita yang dipandang sedang dalam kondisi lemah oleh lawan.
Jika kita mengacu pada situasi politik dunia dan khususnya di Indonesia saat ini, tak bisa kita pungkiri, bahwa strategi ini sebenarnya kerap dilakukan. Dalam sejarah politik dunia, kita bisa melihat beberapa konspirasi politik dibangun melalui peristiwa – peristiwa yang sebenarnya sudah dirancang dan di propagandakan secara massif guna mencapai tujuan politik tertentu.
Misalkan seperti kejadian Pearl Harbour yang diduga sengaja dilakukan oleh USA sebagai dalih untuk melakukan pelemparan Bom Nuklir di Kota Nagasaki dan Hiroshima. Atau teknik Playing Victim yang dilakukan oleh bangsa Yahudi yang dulu memposisikan diri sebagai bangsa terjajah, bangsa terlantar dan tak memiliki Negara, sehingga memancing simpatik Negara – Negara lain untuk mendukung langkah Yahudi untuk menduduki wilayah Palestina dan akhirnya berujung pada didirikannya Negara Israel di wilayah tersebut di tahun 1947.
Jika kita jeli melihat situasi politik saat ini, bermain victim dalam berpolitik ternyata masih cukup ampuh untuk dilakukan, baik oleh politisi dunia maupun di Indonesia. Kita bisa melihatnya dari beberapa peristiwa, isu serta wacana – wacana yang beredar di masyarakat, dan bagaimana framing wacana itu dilakukan guna mengemas opini masyarakat menuju sebuah pemahaman tertentu.
Dalam ilmu politik, setiap wacana dan peristiwa itu ibaratkan sebuah potongan puzzle yang bisa memiliki keterkaitan dengan beberapa potongan puzzle lainnya, sehingga jika potongan – potongan puzzle itu disatukan maka akan terbentuk sebuah gambar yang utuh. (Nesto)