Puluhan Tahun Serangan Kemanusiaan Dibiarkan, PDI Perjuangan Desak Jokowi agar Kudatuli Masuk Pelanggaran HAM Berat

54
Diskusi Kudatuli bertajuk “Kami Tidak Lupa” yang digelar DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta

Aartreya – DPP PDI Perjuangan menggelar peringatan peristiwa 27 Juli 1996, atau dikenal sebagai Kudatuli, kepanjangan dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Gelaran diskusi bertajuk “Kami Tidak Lupa” tersebut diselenggarakan di kantor pusat partai di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Turut hadir dalam diskusi tersebut Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Krisyiyanto, jajaran DPP PDI Perjuangan, seperti Ribka Tjiptaning, Sri Rahayu, Yuke Yurike, Bonnie Triyana, serta para organ sayap partai. Serta, mantan aktivis gerakan reformasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) Wilson Obrigados, Ketua Umum Repdem Wanto Sugito, perwakilan BEM beberapa kampus hingga pengurus DPC PDI Perjuangan se Jabodetabek. Terlihat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri turut mengikuti acara tersebut melalui daring.

Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa kantor partai di Jalan Diponegoro ini menjadi saksi sejarah dan keteguhan seorang Megawati Soekarnoputri dalam menghadapi tekanan pemerintahan Orde Baru. Di mana, peristiwa penyerangan kantor partai oleh aparat pada 27 Juli 1996 menjadi titik awal gerakan reformasi untuk menumbangkan keotoriteran Presiden Soeharto.

“Kantor partai ini menjadi saksi sejarah bahwa peringatan 27 Juli. Melalui diskusi ini, kita akan menggali seluruh pemikiran-pemikiran yang melandasi mengapa seorang Megawati dengan tekanan-tekanan yang luar biasa dari era Orde Baru, dengan bujuk rayu kekuasaan yang luar biasa, beliau tetap menempuh suatu jalur yang sangat konsisten,” kata Hasto.

Ia juga mengenang era Orde Baru berkuasa yang kerap mengesampingkan demokrasi demi kekuasaan.    

“Agar suara-suara rakyat yang saat itu terbungkam, agar suara-suara rakyat yang saat itu tidak berani berbicara dapat berani berbicara, apa yang menjadi landasan sikap tegar dari Ibu Mega ini yang harus kita pikirkan.”

“Bukan sekadar peristiwa penyerangan kantor 27 Juli, tapi latar belakangnya dan mengapa seorang Megawati punya konsistensi dan keberanian yang luar biasa,” sambung dia.

Hasto pun menegaskan, sikap keteguhan Megawati bersama rakyat arus bawah menjadi suatu gerak kemerdekaan untuk berani bersuara, termasuk pers untuk berani bersuara dengan kebebasan pers. Jati diri PDI Perjuangan itu, sebutnya, berasal dari perjuangannya. Penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 pada dasarnya bukanlah sekadar serangan terhadap bangunan fisik.

“Ia adalah serangan terhadap peradaban demokrasi, serangan terhadap sistem hukum, serangan terhadap kemanusiaan dan serangan terhadap lambang kedaulatan partai berupa kantor partai,” tegas Hasto.

Sementara, Ketua DPP PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning mendesak Presiden Joko Widodo memasukkan Tragedi Kudatuli atau kerusuhan 27 Juli 1996 sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

“Kita sepakat panitia bagaimana mendesak Jokowi bahwa Peristiwa 27 Juli ini untuk menjadi dimasukkan dalam pelanggaran HAM berat,” tandas politisi yang akrab disapa Mbak Ning.

Ia menyesalkan sikap Jokowi tidak memasukkan peristiwa Kudatuli dalam daftar 12 kasus pelanggaran HAM berat setelah pemerintah mendapatkan rekomendasi dari Tim Non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat.

Ke-12 peristiwa pelanggaran HAM berat itu yakni, peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, di Aceh 1989, penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999.

Kemudian peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, di Aceh tahun 1999, peristiwa Wasior, di Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua di 2003, dan peristiwa Jambo Keupok, di Aceh tahun 2003.

“Kita akan protes dan berjuang untuk supaya Peristiwa 27 Juli masuk dalam pelanggaran HAM berat. Setuju?” tandas Ribka disambut riuh teriakan “setuju” oleh peserta diskusi. (Eko Okta)

 

SHARE

KOMENTAR